Minggu, 03 Agustus 2025

Biblioterapi: Bisakah Membaca Membuat Anda Lebih Bahagia?

 

Biblioterapi: Bisakah Membaca Membuat Anda Lebih Bahagia?

Bagi para pembaca setia yang telah “mengobati diri” dengan buku-buku hebat sepanjang hidup mereka, tidak mengherankan jika membaca buku bisa membawa manfaat.

Beberapa tahun lalu, saya menerima hadiah sesi konsultasi jarak jauh dengan seorang biblioterapis dari London. Saya harus mengakui bahwa awalnya saya tidak terlalu menyukai ide untuk diberi "resep" bacaan. Saya selalu lebih suka meniru komitmen Virginia Woolf terhadap serendipity, menemukan buku secara acak dan penuh makna—di dalam bus setelah putus cinta, di hostel di Damaskus, atau di tumpukan buku di perpustakaan.

Saya juga waspada terhadap evangelisme khas dari sebagian pembaca: "Kamu harus membaca buku ini," kata mereka, sambil menyerahkan buku dengan mata berbinar, tanpa mempertimbangkan bahwa buku bisa memiliki makna yang berbeda bagi orang yang berbeda, atau bagi orang yang sama di berbagai titik kehidupan.

Meskipun begitu, sesi tersebut adalah hadiah, dan saya terkejut saat ternyata saya sangat menikmati kuesioner awal tentang kebiasaan membaca saya yang dikirim oleh biblioterapis, Ella Berthoud. Tidak ada yang pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini sebelumnya, padahal membaca fiksi adalah hal yang penting dalam hidup saya.

Saya mengaku bahwa saya khawatir tidak memiliki sumber daya spiritual untuk menguatkan diri menghadapi duka yang tak terhindarkan di masa depan, yaitu kehilangan orang yang saya cintai. Saya tidak religius, tetapi saya ingin membaca lebih banyak tentang refleksi orang lain dalam menemukan semacam keyakinan aneh pada "kekuatan yang lebih tinggi" sebagai taktik bertahan hidup secara emosional. Hanya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu saja, saya merasa lebih baik dan lebih ringan.

Berthoud kemudian mengirimkan resep bacaan yang penuh dengan permata, tidak ada satu pun yang pernah saya baca sebelumnya. Salah satu rekomendasinya adalah "The Guide" karya R. K. Narayan, yang ia harap bisa membuat saya merasa "anehnya tercerahkan." Ada juga "The Gospel According to Jesus Christ" karya José Saramago, "Henderson the Rain King" karya Saul Bellow, dan "Siddhartha" karya Hermann Hesse. Ia juga menyertakan buku nonfiksi, seperti "The Case for God" karya Karen Armstrong, dan "Sum" karya David Eagleman, seorang ahli saraf.

Saya menyelesaikan buku-buku di daftar itu selama beberapa tahun, dengan kecepatan saya sendiri. Meskipun saya cukup beruntung karena kemampuan saya untuk menahan duka yang mengerikan belum diuji, beberapa wawasan yang saya dapatkan dari buku-buku ini justru membantu saya melewati hal yang sama sekali berbeda—saat saya mengalami rasa sakit fisik yang akut selama beberapa bulan.

Apa Itu Biblioterapi?

Biblioterapi adalah istilah luas untuk praktik kuno yang mendorong membaca untuk efek terapeutik. Penggunaan pertama istilah ini biasanya merujuk pada artikel tahun 1916 di The Atlantic Monthly, “A Literary Clinic.” Dalam artikel itu, penulis menemukan “institusi bibliopatik” yang dijalankan oleh seorang kenalan bernama Bagster, yang memberikan rekomendasi bacaan dengan nilai penyembuhan.

Saat ini, biblioterapi memiliki banyak bentuk, mulai dari kursus sastra untuk narapidana hingga lingkaran membaca untuk orang lanjut usia yang menderita demensia. Terkadang, ini bisa berarti sesi tatap muka atau kelompok untuk pembaca yang "kembali" dan ingin menemukan jalan kembali untuk menikmati buku.

Berthoud dan rekannya, Susan Elderkin, yang menjalankan klinik biblioterapi di School of Life, kebanyakan mempraktikkan biblioterapi "afektif," yang mengadvokasi kekuatan restoratif dari membaca fiksi. Keduanya bertemu di Universitas Cambridge lebih dari dua puluh tahun yang lalu dan langsung akrab karena isi rak buku mereka. Ketika persahabatan mereka berkembang, mereka mulai meresepkan novel untuk menyembuhkan penyakit satu sama lain, seperti patah hati atau ketidakpastian karier.

Berthoud dan Elderkin menelusuri metode biblioterapi kembali ke masa Yunani Kuno, "yang menulis di atas pintu masuk sebuah perpustakaan di Thebes bahwa ini adalah 'tempat penyembuhan untuk jiwa.'" Praktik ini berkembang pada akhir abad ke-19, ketika Sigmund Freud mulai menggunakan literatur selama sesi psikoanalisis. Setelah Perang Dunia I, para tentara yang trauma sering kali diresepkan serangkaian bacaan.

Manfaat Membaca dalam Perspektif Sains

Bagi semua pembaca yang telah “mengobati diri” dengan buku-buku hebat, tidak mengherankan jika membaca buku bisa bermanfaat bagi kesehatan mental dan hubungan dengan orang lain, tetapi alasan mengapa dan bagaimana hal itu terjadi kini menjadi lebih jelas berkat penelitian baru tentang efek membaca pada otak.

Sejak penemuan "neuron cermin" pada pertengahan 1990-an—neuron yang menyala di otak kita ketika kita melakukan suatu tindakan sendiri dan ketika kita melihat tindakan yang dilakukan oleh orang lain—neuroscience tentang empati menjadi lebih jelas. Sebuah studi tahun 2011 menunjukkan bahwa ketika orang membaca tentang suatu pengalaman, mereka menunjukkan stimulasi di wilayah neurologis yang sama seperti ketika mereka melalui pengalaman itu sendiri. Kita menggunakan jaringan otak yang sama ketika kita membaca cerita dan ketika kita mencoba menebak perasaan orang lain.

Studi lain menunjukkan sesuatu yang serupa—bahwa orang yang banyak membaca fiksi cenderung lebih baik dalam berempati dengan orang lain. Dan pada tahun 2013, sebuah studi berpengaruh yang diterbitkan di Science menemukan bahwa membaca fiksi sastra meningkatkan hasil peserta dalam tes yang mengukur persepsi sosial dan empati, yang sangat penting untuk "teori pikiran"—kemampuan untuk menebak secara akurat apa yang mungkin dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain.

Keith Oatley, seorang novelis dan profesor emeritus psikologi kognitif di Universitas Toronto, telah lama menjalankan kelompok penelitian yang tertarik pada psikologi fiksi. "Fiksi adalah sejenis simulasi, yang berjalan bukan di komputer tetapi di pikiran: simulasi diri dalam interaksi mereka dengan orang lain di dunia sosial," tulisnya dalam bukunya tahun 2011, "Such Stuff as Dreams: The Psychology of Fiction."

Membaca di Era Modern

Salah satu keluhan yang terdaftar dalam buku Berthoud dan Elderkin, "The Novel Cure: An A-Z of Literary Remedies," adalah perasaan "terbebani oleh jumlah buku di dunia," dan itu adalah salah satu masalah yang sering saya rasakan. Elderkin mengatakan ini adalah salah satu keluhan paling umum dari pembaca modern, dan itu tetap menjadi motivasi utama untuk pekerjaan mereka sebagai biblioterapis.

"Kami merasa bahwa meskipun lebih banyak buku yang diterbitkan daripada sebelumnya, orang-orang sebenarnya memilih dari kumpulan yang semakin kecil," kata Elderkin. "Lihatlah daftar bacaan sebagian besar klub buku, dan Anda akan melihat semua buku yang sama, yang telah digaungkan di media. Jika Anda benar-benar menghitung berapa banyak buku yang Anda baca dalam setahun—dan berapa banyak yang berarti Anda kemungkinan akan membacanya sebelum meninggal—Anda akan mulai menyadari bahwa Anda harus sangat selektif untuk memanfaatkan waktu membaca Anda sebaik-baiknya."


Sumber

Minggu, 15 Juni 2025

Surat di Pusara untuk Sri Hartini

Surat di Pusara untuk Sri Hartini

Aku tak tahu mengapa aku datang, menempuh perjalanan jauh dari Yogyakarta hanya karena sebuah nama. Mungkin karena nama Pramono, yang kulihat di pengumuman lelayu surat kabar pagi tadi, masih punya daya untuk menggetarkan dawai yang telah lama kusangka putus di dasar hatiku. Mungkin juga ini hanya sebuah kewajiban, basa-basi terakhir untuk seorang kawan lama yang telah mendahuluiku pulang.

Tanah di Tempat Pemakaman Umum Kalirejo ini basah dan becek, sisa hujan deras semalam. Bau anyir tanah yang dibalik menyatu dengan wangi kembang setaman yang ditabur sekenanya, menciptakan aroma kematian yang begitu pekat. Aku, Sri Hartini, berdiri di antara kerumunan. Tubuhku yang renta, yang telah melayari lima puluh musim lebih, terasa berat dibalut kain batik dan kebaya sederhana. Aku menatap gundukan tanah merah itu, dan yang kurasa hanyalah kehampaan. Tak ada air mata. Air mataku rasanya telah kering puluhan tahun lalu, terkuras untuk menangisi takdirku sendiri, untuk suamiku yang telah lebih dulu berpulang, dan untuk kehidupan yang kujalani lurus-lurus saja laksana jalan desa.

Empat puluh tahun lebih aku menjadi istri Mas Parto, pria pilihan bapakku. Aku mengabdi padanya, melahirkan anak-anaknya, merawat rumahnya, dan berdiri di sisinya hingga napas terakhirnya. Aku adalah istri yang baik. Semua orang berkata begitu. Aku adalah tugu bakti yang kokoh. Tapi tak seorang pun tahu, di pondasi tugu itu, ada sebuah retakan tersembunyi, sebuah nama yang tak pernah kuucap: Pramono.

Di tengah lamunanku, seorang perempuan muda yang wajahnya adalah cerminan wajah Pramono di masa muda, menghampiriku. Matanya bengkak, namun sorotnya teduh. "Ibu... Sri Hartini?" tanyanya pelan, suaranya nyaris hilang ditelan isak tangis di sekeliling kami.

Aku hanya mengangguk.

"Saya Wulan, putri Bapak," lanjutnya. "Sebelum pergi, Bapak meninggalkan ini. Sebuah wasiat yang harus saya sampaikan sendiri kepada Ibu."

Tangannya yang gemetar mengulurkan sepucuk surat. Amplopnya cokelat dan kusam, kertasnya terasa rapuh di bawah jemariku yang keriput. Jantungku, organ tua yang biasanya berdetak dengan irama malas, tiba-tiba berdebar begitu kencang, seolah-olah ia mengenali sesuatu yang telah lama hilang.

Aku beringsut menjauh dari keramaian, mencari keteduhan di bawah pohon kamboja tua. Di sanalah, dengan tangan gemetar, kubuka surat yang telah menunggu empat puluh tahun untuk kubaca. Tulisan tangan Pramono, yang dulu sering kulihat mengisi buku catatanku dengan rumus-rumus fisika, kini menyapaku dari seberang dunia.

Untukmu, Sri Hartini... Kembang desa yang tak pernah bisa kugapai.

Sri, jika kau membaca surat ini, artinya perjalananku di dunia yang fana ini telah sampai di pemberhentian terakhir. Jangan menangis untukku. Aku hanya raga yang lelah dan akhirnya diizinkan beristirahat. Aku hanya ingin kau tahu sebuah rahasia yang kubawa hingga ke liang lahat, sebuah beban yang kini ingin kuletakkan agar perjalananku keabadian terasa lebih ringan.

Maafkan aku, Sri. Bukan karena aku meninggalkanmu dalam duka, tapi karena aku tak pernah punya keberanian untuk memintamu menemaniku dalam suka.

Kebumen, 1984. Ingatkah kau hari-hari itu? Hari-hari sederhana saat kita masih berseragam putih abu-abu. Saat itu, aku hanyalah anak seorang buruh tani, yang datang ke sekolah dengan sepeda butut dan bekal seadanya. Sementara kau, kau adalah putri juragan kaya, kembang desa yang wanginya tercium hingga ke sudut-sudut paling terpencil di sekolah kita. Aku sadar diri, Sri. Aku tahu di mana tanah kupijak dan di mana langit kau junjung.

Tapi hati tak pernah bisa memilih tuannya. Mataku tak pernah bisa kuperintahkan untuk tidak mencuri pandang padamu saat kau tertawa di kantin. Telingaku tak bisa kutulikan dari merdunya suaramu saat menjawab pertanyaan guru di kelas. Aku jatuh cinta padamu. Sebuah cinta yang mustahil, cinta seorang pungguk yang merindukan bulan. Rasa itu tumbuh liar di hatiku yang kering, tanpa pernah berani kusirami dengan kata-kata, karena aku tahu ia hanya akan mati layu dihempas kenyataan.

Aku melihatmu, Sri. Aku melihat sorot mata yang sama saat kita tak sengaja berpapasan di perpustakaan. Aku merasakan getar yang sama saat ujung jarimu menyentuh tanganku ketika kau meminjam catatanku. Kita adalah dua dunia yang berbeda, namun aku merasakan ada jembatan tak kasat mata yang terbentang di antara hati kita. Tapi aku terlalu pengecut untuk menyeberanginya. Aku hanyalah seorang pemuda miskin dengan sebuah rahasia lain yang lebih kelam: tubuh yang rapuh. Sejak kecil, paru-paruku lemah. Tabib desa berkata, umurku mungkin tak akan sepanjang orang-orang lain. Bagaimana mungkin aku, yang tak punya harta dan tak punya masa depan yang pasti, berani menarikmu ke dalam kemelaratanku? Bagaimana mungkin aku berani mengikatmu pada dahan pohon yang kapan saja bisa patah diterpa angin?

Cintaku padamu terlalu besar, Sri. Begitu besarnya hingga aku lebih memilih melihatmu bahagia dengan orang lain daripada menderita bersamaku. Saat kudengar kau akan dinikahkan, duniaku runtuh. Namun di antara puing-puingnya, aku memungut sebersit kelegaan. Kau akan aman. Kau akan terjamin. Dan aku... aku akan menyimpanmu di sudut hatiku yang paling dalam, sebagai mimpi terindah yang tak akan pernah menjadi nyata.

Hidup ini hanya sekali, Sri. Dan dalam sekali kesempatan itu, takdir tak mengizinkan kita berjalan beriringan. Realita, dengan segala kekejamannya, telah mengalahkan cinta dan asa kita. Aku menjalani hidupku, dan kau menjalani hidupmu. Keduanya adalah dua garis lurus yang tak pernah bertemu.

Kini, di akhir perjalananku, aku hanya ingin kau tahu. Bahwa di dunia ini, pernah ada seorang lelaki bernama Pramono, yang mencintaimu lebih dari hidupnya sendiri. Maafkan kebisuan dan kepengecutanku.

Selamanya, Pramonomu.

Surat itu luruh dari tanganku. Air mata yang kukira telah kering, kini menganak sungai di pipiku yang telah berkerut. Aku tidak menangis. Aku meraung dalam sunyi. Seluruh benteng pengabdianku, seluruh pilar baktiku selama empat puluh tahun, runtuh berkeping-keping.

Jadi, tatapan itu... getaran itu... semua bukan hanya perasaanku saja. Cinta itu nyata. Ia ada dan berbalas, namun terkubur hidup-hidup oleh takdir yang kejam. Empat puluh tahun aku menjalani hidupku sebagai bayang-bayang. Aku memasak untuk suamiku, tapi jiwaku hampa. Aku membesarkan anak-anakku, tapi tawaku tak pernah sampai ke hati. Aku tersenyum pada tetangga, tapi mataku menyimpan kekosongan yang tak seorang pun mengerti. Ada sebuah lubang menganga di sanubariku, sebuah pertanyaan bisu yang selalu menghantui malam-malamku yang sepi: mengapa aku merasa tak lengkap?

Selama ini aku menyalahkan diriku sendiri, menganggap anganku tentang Pramono hanyalah khayalan bodoh seorang gadis remaja. Aku memaksa diriku untuk melupakan, untuk menjadi istri dan ibu yang sempurna, sementara di luar sana, Pramono menjalani hidupnya menanggung beban yang sama beratnya. Kami adalah dua orang asing yang saling merindukan dalam diam, dipisahkan oleh dinding kesalahpahaman dan ketakutan.

Aku menatap kembali ke arah pusara itu. Kini gundukan tanah itu bukan lagi makam seorang kawan lama. Itu adalah pusara cinta kami. Pusara dari semua kemungkinan yang tak pernah terjadi. Pusara dari "kita" yang dikalahkan oleh kenyataan.

Aku memang telah menjadi istri yang baik bagi Mas Parto. Aku menghormatinya hingga akhir hayatnya. Tapi cinta... cinta yang menggetarkan jiwa, yang membuat hidup terasa penuh warna seperti yang baru saja diungkapkan Pramono, adalah sebuah negeri asing yang tak pernah kujejakkan kaki di atasnya. Dan kini, di sisa usiaku yang laksana mentari di ufuk barat, aku akhirnya mengerti. Aku telah melewatkan satu-satunya musim semi dalam hidupku, untuk menjalani sisa umurku dalam musim gugur yang panjang dan sunyi. Sebuah tragedi yang ditulis oleh takdir, dan aku adalah tokoh utama yang baru menyadarinya di babak terakhir, ketika semua telah terlambat.

Rabu, 11 Juni 2025

Als Ik Eens Nederlander Was (1913)

 "Als ik eens Nederlander was,...

DOOR

R. M. SOEWARDI SOERJANINGRAT.

In couranten-artikelen wordt thans ten overvloede het denkbeeld gepropageerd, om een groot feest hier in Indië te houden; het eeuwfeest van Neerlands Vrijheid. Het mag voor de inwoners van deze landen niet ongemerkt voorbij gaan, dat het in de komende maand November juist honderd jaren zal zijn geweest, dat Nederland een koninkrijk werd en de Nederlanden een onafhankelijke natje vormden, al stond het als zoodanig ook achteraan in het gelid der mogendheden. Uit een oogpunt van redelijkheid valt inderdaad veel te zeggen voor deze aanstaande viering van een nationale ge- beurtenis. Immers pleit dat alleen voor de vaderlandsliefde der Nederlanders, voor hun piëteit jegens het land, waar eens hun voorvaderen heldendaden verrichtten. De herdenking zal zijn een uitdrukking van hun gemoed van trots, dat een eeuw geleden het aan Nederland gelukt was, het vreemde over- heerschingsjuk af te schudden en zelf een natie te vormen. Ik kan mij gemakkelijk in den gemoedstoestand indenken van den Nederlandschen patriot van thans, wien het gegeven is zulk een jubileum te vieren. Want ook ik ben patriot. en, gelijk de Nederlander van zuiver nationale richting zijn Vaderland lief heeft. zoo heb ook ik mijn eigen Vaderland lief. meer dan ik zeggen kan. Wat een vreugd, wat een genot zal het wezen een natio-


"-12-

nalen dag van zoo groot gewicht te kunnen herdenken. Ik wilde, dat ik voor een oogenblik Nederlander kon wezen. niet een Staatsblad-Nederlander, doch een zuiver onvervalschte zoon van Groot Nederland, geheel vrij van vreemde smetten. Wat zou ik dan jubelen als straks in November de lang verbeide dag komt, de dag der vrijheidsfeesten. Wat zou ik dan juichen bij het vrijelijk zien wapperen der Nederlandsche vlag met het strookje Oranje daarboven. Ik zou tot heesch wordens toe medezingen het,,Wilhelmus" en het Wien Neerlands bloed", als straks de muziek zou inzetten. Ik zou verwaand kunnen zijn van al die mani- festaties, ik zou God danken in de christelijke kerk voor zijn goedheid, ik zou een wensch, een smeekbede ten hemel zenden om 't behoud van Neêrlands macht, ook in deze Koloniën, opdat het ons mogelijk zou blijven, onze groot- heid te handhaven met deze kolossale macht achter ons. Ik zou alle Nederlanders hier in Insulinde vragen om finan- cieelen steun, niet alleen voor het feest zelf, doch ook voor de vlootplannen van Colijn, die zoo ijverde voor het behoud van Neêrlands onafhankelijkheid, ik zou.. ik weet waarlijk niet, wat ik dan verder zou doen, als ik Nederlander was; want ik zou tot alles in staat zijn, geloof ik.

Neen, toch niet! Als ik Nederlander was, zou ik nog niet tot alles in staat zijn. Ik zou inderdaad wenschen, de komende onafhankelijkheidsfeesten zoo uitgebreid mogelijk te organi- seeren, doch ik zou niet willen, dat de inboorlingen dezer landen aan die herdenking mee deden, ik zou hen verbieden mee te jubelen bij de festiviteiten, ik zou zelfs het feest- terrein wenschen af te zetten, opdat geen inlander wat zoude kunnen zien van onze uitgelaten vreugde bij deze herdenking van onzen vrijheidsdag. Daar ligt, dunkt me, zoo iets van onwelvoegelijkheid in. het lijkt me zoo ongegeneerd, zoo ongepast. indien wij-ik ben nog altijd Nederlander in verbeelding-den inlander laten mede juichen bij de herdenking önzer onathankelijkheid. Wij kwetsen hen eerstens in hun fijn eergevoel. doordat wij hier in hun geboorteland, waar wij overheerschen, onze eigen


"-13

vrijheid herdenken. Wij jubelen thans, omdat we honderd jaren geleden verlost werden van een vreemde heerschappij. en dit alles zal nu plaats hebben ten aanschouwe van hen. die nu nog steeds onder onze heerschappij staan. Zouden wij niet denken, dat die arme geknechten ook niet snakten naar het oogenblik, dat ze evenals wij nu, eenmaal zulke feesten zouden kunnen vieren?! Of meenden wij soms, dat wij door onze lang doorgezette, geestdoodende fnuik-politiek den inboorlingen alle menschelijke zielsgevoelens hadden ge- dood? Dan zouden wij toch zeer zeker bedrogen uitko- men, want zelfs de onbeschaafdste volken verwenschen allen vorm van overheersching. Als ik Nederlander was, zou ik dan ook geen onafhankelijkheidsfeest vieren in een land, waar wij het volk zijn onafhankelijkheid onthouden. Geheel in de lijn van dezen gedachtengang is het onbillijk niet alleen, maar ook ongepast, om de inlanders te doen bij- dragen ten bate van het feestfonds. Beleedigt men ze reeds door 't idee der feestelijke herdenking zelf van Neerlands vrijheid, thans maakt men ook hun beurzen ledig. Voorwaar een moreele en stoffelijke beleediging!

Wat denkt men toch met al dat feestgevier te kunnen be- reiken, hier in Indië? Als het een uiting van nationale vreugde moet beduiden, dan is het wel onverstandig, om het hier in een overheerscht land te doen. Men stoot het volk hier voor het hoofd. Of wil men daarmede een grootheids-betooging in politieken zin? Dan moet zulke politiek al zeer onpolitiek wezen. Vooral in deze tijden, waar het volk van Indië bezig is zich te vormen en nog in een slaapdronken periode van ontwaking verkeert, is het een tactische fout, om dat volk het voorbeeld te geven, hoe het eventueel zijn vrijheid moet vieren. Men prikkelt zoo de hartstochten, men ontwikkelt onbewust den vrijheidszin, de hoop op een komende onaf- hankelijkheid. Zonder opzet roept men het inlandsche volk toe: Kijkt, menschen, hoe wij onze onafhankelijkheid herden- ken: hebt de vrijheid lief, want het is een waar genot, om een vrij volk te wezen, vrij van alle overheersching!"

Als de maand November dezes jaars voorbij zal zijn, zul-


"-14

len de Nederlandsche kolonisten een politiek waagstuk heb- ben uitgehaald. De risico zij dan op hun rekening. Ik zou de verantwoordelijkheid niet willen dragen, al was ik ook een Nederlander. Als ik Nederlander was, nu op dit moment, dan zou ik protesteeren tegen het denkbeeld dezer herdenking. Ik zou in alle couranten schrijven, dat het verkeerd is, ik zou mijn mede-kolonisten waarschuwen, dat het gevaarlijk is in dezen tijd vrijheidsfeesten te houden, ik zou alle Nederlanders af- raden, om het ontwakende, vrijmoedig geworden volk van Neerlandsch Indië voor het hoofd te stooten en het mogelijk tot brutaliteit te brengen. Waarachtig, ik zou protesteeren met alle kracht, die in me is.

Doch. ik ben geen Nederlander, ik ben slechts een bruine zoon van dit tropisch land, een inboorling van deze Nederlandsche Kolonie, en daarom ook zal ik niet protesteeren. Want als ik protesteerde, zou het mij kwalijk worden ge- nomen. Ik zou immers het Nederlandsche volk. dat hier in mijn land regeert, beleedigen en van mij afstooten. En dat wil ik niet, dat mag ik niet. Als ik Nederlander was zou ik immers het inlandsche volk niet voor het hoofd willen stooten?! Ook zou men mij brutaal kunnen noemen tegenover Hare Majesteit, onze geëerbiedigde Koningin, en dat zou onver- geeflijk zijn, want ik ben Haar onderdaan, die Haar steeds trouw moet blijven.

En daarom protesteer ik niet!

Integendeel, ik zal aan de feesten deelnemen. Als straks een collecte wordt gehouden, dan zal ik mijn bijdrage doen. al moest ik daardoor mijn huishoudelijke begrooting tot op de helft terug brengen. Het is mijn plicht als inlander van Neerland's Kolonie, om den onafhankelijkheidsdag van Ne- derland, het land van onze meesters, met luister mede te herdenken. Ik zal mijn landgenooten en mede-onderdanen van het koninkrijk der Nederlanden allen vragen, om aan 't feest deel te nemen, want al is dat feest van zuiver Neder- landsche beteekenis, dan nog hebben we daarin de beste gelegenheid. om onze trouw en ons medevoelen aan Nederland"1.


Jika Saya Seorang Belanda (1913)