Surat di Pusara untuk Sri Hartini
Aku tak tahu mengapa aku datang, menempuh perjalanan jauh dari Yogyakarta hanya karena sebuah nama. Mungkin karena nama Pramono, yang kulihat di pengumuman lelayu surat kabar pagi tadi, masih punya daya untuk menggetarkan dawai yang telah lama kusangka putus di dasar hatiku. Mungkin juga ini hanya sebuah kewajiban, basa-basi terakhir untuk seorang kawan lama yang telah mendahuluiku pulang.
Tanah di Tempat Pemakaman Umum Kalirejo ini basah dan becek, sisa hujan deras semalam. Bau anyir tanah yang dibalik menyatu dengan wangi kembang setaman yang ditabur sekenanya, menciptakan aroma kematian yang begitu pekat. Aku, Sri Hartini, berdiri di antara kerumunan. Tubuhku yang renta, yang telah melayari lima puluh musim lebih, terasa berat dibalut kain batik dan kebaya sederhana. Aku menatap gundukan tanah merah itu, dan yang kurasa hanyalah kehampaan. Tak ada air mata. Air mataku rasanya telah kering puluhan tahun lalu, terkuras untuk menangisi takdirku sendiri, untuk suamiku yang telah lebih dulu berpulang, dan untuk kehidupan yang kujalani lurus-lurus saja laksana jalan desa.
Empat puluh tahun lebih aku menjadi istri Mas Parto, pria pilihan bapakku. Aku mengabdi padanya, melahirkan anak-anaknya, merawat rumahnya, dan berdiri di sisinya hingga napas terakhirnya. Aku adalah istri yang baik. Semua orang berkata begitu. Aku adalah tugu bakti yang kokoh. Tapi tak seorang pun tahu, di pondasi tugu itu, ada sebuah retakan tersembunyi, sebuah nama yang tak pernah kuucap: Pramono.
Di tengah lamunanku, seorang perempuan muda yang wajahnya adalah cerminan wajah Pramono di masa muda, menghampiriku. Matanya bengkak, namun sorotnya teduh. "Ibu... Sri Hartini?" tanyanya pelan, suaranya nyaris hilang ditelan isak tangis di sekeliling kami.
Aku hanya mengangguk.
"Saya Wulan, putri Bapak," lanjutnya. "Sebelum pergi, Bapak meninggalkan ini. Sebuah wasiat yang harus saya sampaikan sendiri kepada Ibu."
Tangannya yang gemetar mengulurkan sepucuk surat. Amplopnya cokelat dan kusam, kertasnya terasa rapuh di bawah jemariku yang keriput. Jantungku, organ tua yang biasanya berdetak dengan irama malas, tiba-tiba berdebar begitu kencang, seolah-olah ia mengenali sesuatu yang telah lama hilang.
Aku beringsut menjauh dari keramaian, mencari keteduhan di bawah pohon kamboja tua. Di sanalah, dengan tangan gemetar, kubuka surat yang telah menunggu empat puluh tahun untuk kubaca. Tulisan tangan Pramono, yang dulu sering kulihat mengisi buku catatanku dengan rumus-rumus fisika, kini menyapaku dari seberang dunia.
Untukmu, Sri Hartini... Kembang desa yang tak pernah bisa kugapai.
Sri, jika kau membaca surat ini, artinya perjalananku di dunia yang fana ini telah sampai di pemberhentian terakhir. Jangan menangis untukku. Aku hanya raga yang lelah dan akhirnya diizinkan beristirahat. Aku hanya ingin kau tahu sebuah rahasia yang kubawa hingga ke liang lahat, sebuah beban yang kini ingin kuletakkan agar perjalananku keabadian terasa lebih ringan.
Maafkan aku, Sri. Bukan karena aku meninggalkanmu dalam duka, tapi karena aku tak pernah punya keberanian untuk memintamu menemaniku dalam suka.
Kebumen, 1984. Ingatkah kau hari-hari itu? Hari-hari sederhana saat kita masih berseragam putih abu-abu. Saat itu, aku hanyalah anak seorang buruh tani, yang datang ke sekolah dengan sepeda butut dan bekal seadanya. Sementara kau, kau adalah putri juragan kaya, kembang desa yang wanginya tercium hingga ke sudut-sudut paling terpencil di sekolah kita. Aku sadar diri, Sri. Aku tahu di mana tanah kupijak dan di mana langit kau junjung.
Tapi hati tak pernah bisa memilih tuannya. Mataku tak pernah bisa kuperintahkan untuk tidak mencuri pandang padamu saat kau tertawa di kantin. Telingaku tak bisa kutulikan dari merdunya suaramu saat menjawab pertanyaan guru di kelas. Aku jatuh cinta padamu. Sebuah cinta yang mustahil, cinta seorang pungguk yang merindukan bulan. Rasa itu tumbuh liar di hatiku yang kering, tanpa pernah berani kusirami dengan kata-kata, karena aku tahu ia hanya akan mati layu dihempas kenyataan.
Aku melihatmu, Sri. Aku melihat sorot mata yang sama saat kita tak sengaja berpapasan di perpustakaan. Aku merasakan getar yang sama saat ujung jarimu menyentuh tanganku ketika kau meminjam catatanku. Kita adalah dua dunia yang berbeda, namun aku merasakan ada jembatan tak kasat mata yang terbentang di antara hati kita. Tapi aku terlalu pengecut untuk menyeberanginya. Aku hanyalah seorang pemuda miskin dengan sebuah rahasia lain yang lebih kelam: tubuh yang rapuh. Sejak kecil, paru-paruku lemah. Tabib desa berkata, umurku mungkin tak akan sepanjang orang-orang lain. Bagaimana mungkin aku, yang tak punya harta dan tak punya masa depan yang pasti, berani menarikmu ke dalam kemelaratanku? Bagaimana mungkin aku berani mengikatmu pada dahan pohon yang kapan saja bisa patah diterpa angin?
Cintaku padamu terlalu besar, Sri. Begitu besarnya hingga aku lebih memilih melihatmu bahagia dengan orang lain daripada menderita bersamaku. Saat kudengar kau akan dinikahkan, duniaku runtuh. Namun di antara puing-puingnya, aku memungut sebersit kelegaan. Kau akan aman. Kau akan terjamin. Dan aku... aku akan menyimpanmu di sudut hatiku yang paling dalam, sebagai mimpi terindah yang tak akan pernah menjadi nyata.
Hidup ini hanya sekali, Sri. Dan dalam sekali kesempatan itu, takdir tak mengizinkan kita berjalan beriringan. Realita, dengan segala kekejamannya, telah mengalahkan cinta dan asa kita. Aku menjalani hidupku, dan kau menjalani hidupmu. Keduanya adalah dua garis lurus yang tak pernah bertemu.
Kini, di akhir perjalananku, aku hanya ingin kau tahu. Bahwa di dunia ini, pernah ada seorang lelaki bernama Pramono, yang mencintaimu lebih dari hidupnya sendiri. Maafkan kebisuan dan kepengecutanku.
Selamanya, Pramonomu.
Surat itu luruh dari tanganku. Air mata yang kukira telah kering, kini menganak sungai di pipiku yang telah berkerut. Aku tidak menangis. Aku meraung dalam sunyi. Seluruh benteng pengabdianku, seluruh pilar baktiku selama empat puluh tahun, runtuh berkeping-keping.
Jadi, tatapan itu... getaran itu... semua bukan hanya perasaanku saja. Cinta itu nyata. Ia ada dan berbalas, namun terkubur hidup-hidup oleh takdir yang kejam. Empat puluh tahun aku menjalani hidupku sebagai bayang-bayang. Aku memasak untuk suamiku, tapi jiwaku hampa. Aku membesarkan anak-anakku, tapi tawaku tak pernah sampai ke hati. Aku tersenyum pada tetangga, tapi mataku menyimpan kekosongan yang tak seorang pun mengerti. Ada sebuah lubang menganga di sanubariku, sebuah pertanyaan bisu yang selalu menghantui malam-malamku yang sepi: mengapa aku merasa tak lengkap?
Selama ini aku menyalahkan diriku sendiri, menganggap anganku tentang Pramono hanyalah khayalan bodoh seorang gadis remaja. Aku memaksa diriku untuk melupakan, untuk menjadi istri dan ibu yang sempurna, sementara di luar sana, Pramono menjalani hidupnya menanggung beban yang sama beratnya. Kami adalah dua orang asing yang saling merindukan dalam diam, dipisahkan oleh dinding kesalahpahaman dan ketakutan.
Aku menatap kembali ke arah pusara itu. Kini gundukan tanah itu bukan lagi makam seorang kawan lama. Itu adalah pusara cinta kami. Pusara dari semua kemungkinan yang tak pernah terjadi. Pusara dari "kita" yang dikalahkan oleh kenyataan.
Aku memang telah menjadi istri yang baik bagi Mas Parto. Aku menghormatinya hingga akhir hayatnya. Tapi cinta... cinta yang menggetarkan jiwa, yang membuat hidup terasa penuh warna seperti yang baru saja diungkapkan Pramono, adalah sebuah negeri asing yang tak pernah kujejakkan kaki di atasnya. Dan kini, di sisa usiaku yang laksana mentari di ufuk barat, aku akhirnya mengerti. Aku telah melewatkan satu-satunya musim semi dalam hidupku, untuk menjalani sisa umurku dalam musim gugur yang panjang dan sunyi. Sebuah tragedi yang ditulis oleh takdir, dan aku adalah tokoh utama yang baru menyadarinya di babak terakhir, ketika semua telah terlambat.
Komentar
Posting Komentar