Rembulan, serupa keping perak yang digores duka, menggantung sayu di langit kota yang baru saja melepaskan senja. Angin malam, serupa bisikan arwah para pahlawan tanpa nama yang meratap sia-sia, menyusup perlahan melalui celah-celah dinding gedek kamar Suryo, membawa serta dingin yang tak hanya menusuk hingga ke sumsum tulang—sumsum yang kini sering ngilu oleh sisa serpihan peluru yang bersarang di dekatnya—tetapi juga merambati relung-relung jiwa yang kian lama kian lapuk dimakan waktu dan kekecewaan yang membatu. Suryo, lelaki yang usianya baru merangkak kepala empat namun gurat wajahnya telah memeta perjalanan abad-abad penuh kepiluan, dan tubuhnya yang kini tak lagi utuh menanggung bekas luka perang permanen, termangu di bibir dipan bambunya yang berderit setiap kali ia menarik napas panjang, seolah ikut merasakan sesak yang menghimpit dadanya yang sebelah kini terasa lebih berat.
Pelita kecil di sudut ruangan berkelip-kelip, cahayanya yang redup menari-nari di dinding, menciptakan bayang-bayang yang memanjang dan mengerut, serupa hantu-hantu kenangan yang enggan beranjak dari benaknya. Ah, kenangan! Ia, yang dulu dadanya membara oleh pekik ‘Merdeka atau Mati!’, yang penanya tak pernah kering menorehkan gugatan dan harapan bagi Ibu Pertiwi yang terluka, kini hanya mampu memandang nanar pada kegelapan yang meruap dari setiap sudut kamarnya. Kegelapan yang seolah mencerminkan gulita yang bersemayam dalam hatinya melihat negerinya kini, yang ia pertaruhkan separuh raga dan seluruh jiwa untuknya, justru dikangkangi oleh para cecunguk bajingan berdasi, para penjilat yang dulu bersembunyi di ketiak penjajah atau sekadar mengekor di belakang barisan. Kemerdekaan telah diraih, pekik kemenangan telah bergema, namun bagi Suryo, fajar itu terasa begitu semu, matahari seolah enggan menyinarkan kehangatannya pada jiwa-jiwa yang masih berkalang tanah dan debu perjuangan, sementara para bedebah berpesta pora di atas penderitaan rakyat.
Di luar sana, deru mesin-mesin mobil para pembesar kota, yang kini diisi oleh wajah-wajah licin dan perut-perut buncit yang tak pernah mengenal lapar di medan juang, diselingi gelak tawa riang dari warung kopi di ujung gang. Suara-suara itu, bagai belati yang menghunjam tepat di ulu hatinya. Mereka, yang dulu bersamanya meringkuk di parit-parit pertahanan, berbagi sekerat singkong di bawah desingan peluru, kini telah duduk di kursi-kursi empuk, perut mereka membuncit bukan karena kenyang cita-cita, melainkan oleh rampasan hak rakyat jelata. Suryo tersenyum getir. Senyum yang lebih mirip ringisan menahan perih, perih yang menjalar dari kakinya yang pincang hingga ke hatinya yang remuk. "Untuk inikah aku kehilangan separuh kakiku?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Ia meraih secarik kertas kumal dari bawah bantalnya, kertas yang telah menguning dan rapuh di tepinya. Itu adalah salinan risalah yang pernah ia tulis dengan darah dan air mata, dengan semangat yang berkobar-kobar, tentang sebuah negeri yang adil dan makmur, tentang martabat manusia yang tak boleh terinjak. Kata-kata itu, yang dulu mampu menggetarkan jiwa ribuan pemuda, kini terasa hampa, kosong tak bermakna di hadapan kenyataan yang ia saksikan. Kata-kata itu kini hanya jadi bahan tertawaan nasib. Kertas itu diremasnya pelan, namun tak sampai hati ia merobeknya. Itu adalah sisa-sisa dirinya yang masih ia genggam, betapapun rapuhnya, betapapun sia-sianya.
Malam kian merangkak larut. Suara jangkrik di pekarangan belakang terdengar bersahutan, menyanyikan kidung nestapa yang seolah mengerti akan gejolak batin Suryo. Ia bangkit, langkahnya yang sedikit terseok—kenang-kenangan dari pertempuran di Ambarawa—membawanya menuju jendela kecil yang menghadap ke halaman. Di sana, pohon sawo tua yang rindang berdiri tegak, saksi bisu perjalanan hidupnya, dari masa kanak-kanak yang riang, masa remaja yang berapi-api, hingga kini, masa ketika ia merasa terlempar ke tepian, terasing dari gegap-gempita perayaan kemerdekaan yang ia turut perjuangkan dengan harga mahal.
Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di bawah pohon sawo. Sesosok bayangan anak kecil, mungkin Parmi, anak tetangga sebelah, sedang termangu menatap rembulan. Bocah itu tampak begitu polos, begitu murni, belum terjamah oleh pahit getirnya kehidupan. Sebuah pertanyaan menyusup dalam benak Suryo, pertanyaan yang begitu menyakitkan: Untuk siapa sebenarnya ia berjuang? Untuk generasi seperti Parmi-kah? Namun, warisan apa yang bisa ia berikan selain cerita-cerita usang tentang heroisme yang kini mulai dilupakan, tentang cita-cita yang dikhianati, dan tubuh yang tak lagi sempurna? Apakah agar anak ini kelak juga ditipu oleh janji-janji manis para durjana berjubah pahlawan?
Suryo menghela napas panjang, asap rokok kretek terakhirnya mengepul tipis, lalu hilang ditelan udara malam. Ia teringat akan Ratmi, kekasihnya yang dulu berjanji menunggu. Ratmi, yang wajahnya kini hanya samar-samar dalam ingatan, terhapus oleh bayangan suaminya, seorang saudagar kaya yang dulu justru dekat dengan lingkaran Belanda, yang ia nikahi selagi Suryo masih bersembunyi di hutan, bertaruh nyawa. Kabar pernikahannya sampai ke telinganya seperti desingan peluru terakhir yang menembus sisa harapannya, merobek kepingan hatinya yang belum hancur oleh serpihan granat. Ratmi, yang selalu percaya pada setiap kata yang ia tulis, pada setiap janji tentang masa depan yang lebih baik. Ah, Ratmi pun tak sabar menanti. Apa guna kesetiaan pada janji, jika perut lebih mendesak dan keamanan lebih menggiurkan daripada cinta seorang pejuang kere?
Semua itu kini terasa begitu jauh, bagai bintang gemintang yang berkelip indah namun tak terjangkau, mengejeknya dari ketinggian. Suryo kembali ke dipannya, merebahkan tubuhnya yang letih dan sakit-sakitan. Matanya menatap langit-langit kamar yang mulai lapuk. Sayup-sayup terdengar dari kejauhan alunan gamelan yang mendayu, seolah mengiringi senandung luka perjuangan yang sia-sia dalam jiwanya. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia akan mencoba memejamkan mata, berharap esok pagi tak pernah datang, sebab setiap fajar hanya membawa pengulangan kekecewaan. Harapannya kian menipis, serupa pelita yang kehabisan minyak, dan ia tahu, perjuangan batinnya akan terus menghantuinya hingga ajal menjemput, memeluk idealismenya yang renta dan cacat di tengah dunia yang terus berputar, melindas tanpa ampun segala yang dianggapnya suci. Sia-sia, segalanya terasa sia-sia.
Komentar
Posting Komentar