Surat di Pusara untuk Sri Hartini Aku tak tahu mengapa aku datang, menempuh perjalanan jauh dari Yogyakarta hanya karena sebuah nama. Mungkin karena nama Pramono, yang kulihat di pengumuman lelayu surat kabar pagi tadi, masih punya daya untuk menggetarkan dawai yang telah lama kusangka putus di dasar hatiku. Mungkin juga ini hanya sebuah kewajiban, basa-basi terakhir untuk seorang kawan lama yang telah mendahuluiku pulang. Tanah di Tempat Pemakaman Umum Kalirejo ini basah dan becek, sisa hujan deras semalam. Bau anyir tanah yang dibalik menyatu dengan wangi kembang setaman yang ditabur sekenanya, menciptakan aroma kematian yang begitu pekat. Aku, Sri Hartini, berdiri di antara kerumunan. Tubuhku yang renta, yang telah melayari lima puluh musim lebih, terasa berat dibalut kain batik dan kebaya sederhana. Aku menatap gundukan tanah merah itu, dan yang kurasa hanyalah kehampaan. Tak ada air mata. Air mataku rasanya telah kering puluhan tahun lalu, terkuras untuk menangisi takdirku sendiri...